Sabtu, 26 Maret 2016

Secar Bukan Kesasar

                

              Semua penuh pertimbangan. Ya akal, ya kepasrahan total. Tentang akal. Manusia memang dikarunia akal untuk berpikir, berdaya, dan terus belajar. Kelahiran anak pertama dan anak kedua yang tidak mengalami persalinan normal membuat saya terus belajar, apakah yang kehamilan yang ketiga bisa lahir normal? Ya, bisa. Saya berselancar menyelami google banyak kasus ibu berhasil vba2c. Tentu dengan keadaan kehamilan yang memang sehat dan baik-baik saja. Bahkan saya berhasil chatting dengan seorang ibu yang berhasil vba3c. Ehm, sudah 3 kali secar dan anak keempatnya berhasil lahir normal. Perjuangan yang luar biasa. Pemberdayaan yang tiada henti. Keyakinan sukses yang perlu diacungi jempol. Saya tak ingin ketinggalan. Saya pun berusaha memberdayakan diri. Saya berusaha yoga prenatal minimal 3 kali seminggu, menerapkan pola makan sehat, berusaha tidak stress meski anak dua dan banyak urusan lainnya. Alhamdulillah, kehamilan ketiga jauh lebih sehat, badan ringan, dan lebih produkti dibanding kehamilan sebelumnya. Kecuali nulis sih, mulai Maret sampai melahirkan memang belum maksimal.

                Yoga. Olahraga ini memang membuat tidur saya lebih nyenyak. Terlebih pikiran saya lebih positif. Cukup banyak mengurangi rasa stress saya. Latihan napas dalam yoga sangat membantu bahkan dalam kondisi dua anak saya tidak bisa kompromi. Napas, napas, napas. Inilah yang dibutuhkan ketika persalinan normal. Mendengar cerita banyak ibu sukses melahirkan normal dengan lancar dan mudah hanya dengan napas ini, meski sebelumnya secar membuat saya kagum dan berusaha tidak meninggalkan yoga ini. Bahkan ketika usia kehamilan 37 minggu, selain yoga saya juga olahraga dengan bola pilates. Kepala bayi jadi lebih turun, turun, dan turun.

                Pola makan sehat. Ehm, selama saya hamil, berat badan saya hanya nambah 8 kg saja lho. Sejak usia kehamilan 35 minggu berat badan nggak naik-naik, tapi berat badan bayi nambah. Bahkan, anak yang ketiga ini lahir berat badannya lebih besar dibanding kakak-kakaknya. Saya menerapkan food combining. Hasilnya, badan memang enteng karena saya tak sembelit lagi. Hamil mau kemana aja jadi nggak terasa berat. Sampai usia 35 minggu saya masih sepeda motoran ke mana aja lho, bawa anak 2 lagi.

                Asyik deh menjalani kehamilan anak ketiga ini. Namun, ketika jelang HPL keadaannya lain. Keponakan yang sejak usia kehamilan saya 38 minggu di rumah, dengan tujuan jika saya mules sewaktu-waktu mau lahiran, dia bisa menemani Qowiyy dan Nasywah, mendadak harus pulang. Suami mulai bingung. “Ya udah, biarin aja pulang, nggak usah disuruh balik ke sini lagi! Takutnya ntar masih ada keperluan lagi terkait sekolahnya. Anak-anak gampang lah, ntar dipikirkan!” kata saya.

                Dan tak menyangka di usia kehamilan 39 minggu, bangun tidur malam saya merasakan sesuatu. Celana dalam kok basah? Saya ke kamar mandi. Ternyata keluar flek lendir berwarna merah muda. Kata teman dan bidan, itu tanda akan melahirkan. Ditunggu saja sampai kontraksi muncul dan amati. Namun selama sepekan saya hanya merasakan kontraksi-kontraksi palsu saja. Selama sepekan itu pula setiap hari saya selalu memakai “pampers”. Saya mengeluarkan cairan terus, namun bukan air ketuban. Kadang lengket bening, kadang merah muda lendirnya. Saya tidak tahu apakah itu. Dan kontraksi palsu itu selama 3 hari jelang lahiran saya rasakan semakin hebat dan sakit. Meski timbul lalu menghilang, namun ketika muncul sakitnya luar biasa. Biasanya ketika perut kenceng, saya pakai yoga enakan rasanya. Ini tidak. Badan rasanya sakit semua. Dipakai tidur miring sakit, telentang juga sakit. Apalagi di bagian pinggang. Dan selama 3 hari itu saya tidak bisa tidur. Badan agak enakan jika dipakai jalan kaki. Tapi malam hari, tak mungkin bukan saya jalan kaki terus? Sesekali saya tidur dengan posisi nungging sambil mengelus-elus pinggang. Tapi ya tidak bisa bertahan lama. Mana enak tidur nungging, lama-lama pegel juga. Alhasil selama 3 hari itu saya nge-drop. Kurang tidur. Terutama malam hari.

                Lalu, berbincanglah saya dengan suami malam itu.
                “Jadinya gimana?” tanya suami.
                “Ya nunggu,” jawab saya tenang.
            “Yang jaga anak-anak siapa? Nggak mungkin kan ketuk-ketuk pintu tetangga? Apalagi jika mulesnya malam? Sebisa mungkin janganlah repotkan orang lain!” kata suami lagi.

               Saya terdiam. Iya, ya. Saya pun juga sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Kalau mulesnya pagi, anak-anak memang bisa dititip di daycare. Tapi kalau penuh, ya, nggak bisa juga. Apalagi anak-anak saya bukan tipe yang cepat akrab dengan orang lain. Kami pun tak ingin merepotkan orang tua di kampung untuk datang. Ibu saya sejak keluar dari rumah sakit karena terserang vertigo saya larang untuk bepergian sendiri. Apalagi pekerjaan ibu sebagai guru juga tidak bisa ditinggal. Bapak jadi ojek ibu setiap hari. Adik saya juga lagi hamil tua. Ibu mertua sudah sering sakit-sakitan juga. Kakak ipar tangannya masih sakit habis kecelakaan. Ya,otomatis memang tidak ada yang menjaga anak-anak.

                “Terus, ayah tuh nggak bisa nunggu begini. Bukan tidak setuju lahiran normal, tapi ayah tak bisa terus berkompromi dengan pekerjaan! Ayah tak bisa siaga terus jika sewaktu-waktu lahiran!”sahut suami lagi.

                Aha! Saya kembali diam, bahkan lebih menutup mulut dengan rapat. Saya baru sadar dan ingat kalau suami sejak sebelum puasa sudah menjadi tim khusus langsung di bawah Dirjen. Suami sering rapat, lembur, dan dinas luar kota. Tiap minggu hampir nggak pernah kosong. Sabtu atau ahad saja juga adakalanya lembur di kantor. Bahkan pas ramadhan orang kebanyakan pulang lebih awal, suami sering pulang malam. Nah, sejak usia kehamilan saya 38 an minggu, suami tidak dinas ke luar kota. Ijin dengan atasannya. Namun, ya tidak bisa lama-lama. Apalagi jika memang tak ada orang lagi yang bisa menggantikan pekerjaannya.

                Ya Allah. Rasanya tak karuan dada saya. Saya juga nggak rela kalau sampai suami saya ditegur atasan karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Bagaimanapun suami bekerja juga niat karena ibadah kepada Allah. Bagaimanapun suami juga harus bisa tawazun. Ya keluarga, ya bekerja. Kalau suami lagi dinas luar kota lalu tiba-tiba saya mules mau lahiran, bagaimana?

                Semalaman saya tidak bisa tidur. Pagi hari ketika suami tidak di rumah, saya berusaha konsultasi dengan 2 orang teman saya yang saya anggap bisa membantu masalah saya. “Gentle birth itu tak harus dipaksakan untuk normal. Dan sebisa mungkin proses persalinan itu tidak membuat kekhawatiran. Ingat dulu pas melahirkan anak kedua, Mbak! Jika operasi lebih menenangkan banyak pihak, itu juga gentle birth.”

Teman kedua saya berkomentar lain, namun lebih menusuk ke hati saya. “Mbak sudah berusaha maksimal, tapi kalau dah jelang melahirkan begini, saya lebih memilih untuk taat pada suami, Mbak. Kondisinya sepertinya tidak memungkinkan untuk persalinan normal. Mungkin, tapi mudharatnya jauh lebih besar. Lagi pula, besar pahalanya soal ketaatan istri kepada suami.”

Saya tak bisa menahan tangis. Ya, saya menangis tak henti-henti. Saya lihat Qowiyy dan Nasywah, iya ya bersama siapa mereka jika tiba-tiba saya harus ke dokter/bidan? Lalu saya berkaca pada diri sendiri. Iya ya siapa yang bisa mengantar dan menunggui saya ketika harus ke dokter/bidan kala kontraksi rutin sudah terjadi sedang suami dinas luar kota? Mungkin saya bisa pergi sendiri naik taksi, anak-anak?

Bismillah. Akhirnya saya pun memutuskan untuk melakukan persalinan secar. Saya chat dengan dokter. Alhamdulillah cepat nyambung. Saya kabarkan kepada suami saya soal keputusan saya. “Bener?” tanyanya. Saya mengangguk. Suami tak tanya alasannya. Tapi itu jauh menentramkan hati saya. Setelah diskusi dengan teman, saja jadi lega. Makanya berani mengambil keputusan ini.

Persalinan secar pun terjadi. Bayi perempuan mungil pun hadir di dunia ini. Ditemani suami sendiri di rumah sakit. Pulang dari rumah sakit juga sudah harus repot dengan pekerjaan rumah tangga. Suami harus kerja lagi esoknya. Ya dibantu suami sih kalau pagi dan malam hari. Namun, hanya 5 hari. Selepasnya suami sudah lembur dan dinas luar kota lagi. Sampai saat ini. Tiap pekan paling tidak 3-4 hari. Namun Alhamdulillah, dengan banyak bergerak, saya justru cepat pulih dan beraktivitas lagi.


Secar bukan kesasar. Paling tidak ini yang saya rasakan. Saya tak tahu apakah keputusan saya benar, namun saya tenang dan hati rasanya tentram ketika memutuskan.