Minggu, 08 Februari 2015

Faktor

Faktor bilangan 8 dan faktor bilangan 9


           “Ayah, apa yang menyebabkan orang bisa buta?” Malik tiba-tiba datang terengah-engah mengganggu ayahnya yang sedang membaca koran di teras. Sedang Malik sendiri baru saja pulang dari bermain bersama temannya.
            “Kenapa tiba-tiba tanya hal itu?’
            “Tadi waktu bermain bersama Fadhil, Fadhil cerita tentang orang buta yang baik yang dijumpainya saat pergi ke supermarket minggu kemarin.”
            “Memang baiknya orang buta itu apa kok Fadhil sampai bilang begitu?”
            “Orang buta itu kan lagi berjalan, ditabrak pengendara sepeda motor. Nggak sampai luka parah sih, eh, tapi pengendara motornya malah marah-marah karena orang buta tersebut nggak lihat-lihat. Kan wajar ayah, orang buta nggak lihat. Tapi, orang buta itu malah berbalik minta maaf dengan bertutur kata yang sopan. Nah, Fadhil iba dengan orang buta tadi. Katanya pingin menyembuhkan mata orang buta tadi andai dia bisa.”
            “O begitu ceritanya, subhanallah ya orang buta tadi?”
            “Iya, tapi apa jawabannya ayah, tentang apa penyebab buta?”
            “Ya macam-macam. Bisa sudah takdir Allah semenjak dia lahir. Ada yang karena kecelakaan hingga syaraf matanya rusak dan menyebabkan kebutaan. Itu sih yang ayah tahu.”
            “Segala sesuatu terjadi pasti ada penyebabnya ya ayah?”
            “Begitulah! Nah, sekarang ayah tanya biar kamu lebih mendapatkan gambarannya yang lebih gamblang.”
            “Apa ayah? Nggak sulit, kan?”
            “Berapakah faktor dari 8?”
            “1, 2, 4, dan 8. Kok jadi pelajaran matematika Ayah?”
            “Sabar, ntar kamu akan mengerti sendiri apa kaitannya. Terus, mengapa bilangan-bilangan itu disebut faktor dari 8?”
            “Ya karena ketika bilangan itu dikalikan akan menghasilkan bilangan 8. Misalkan 1 x 8, 2 x 4, 4 x 2, dan 8 x 1.”
            “Kalau faktor dari 10?”
            “Ah Ayah, mau menguji kemampuan Malik ya? Faktor 10 itu 1, 2, 5, dan 10. Betul, bukan?”
            “Sipplah! Nah, kira-kira apa yang menyebabkan orang bisa masuk surga, Nak? Maksudnya kalau mau dicari faktornya, apa coba?”
            “Banyak, bisa karena amal kebaikan yang dia lakukan, bisa karena rahmat Allah.”
            “Lalu, orang yang buta tadi bisa masuk surga tidak karena sifat pemaafnya terhadap orang yang menabraknya?”
            “Ya bisalah. Kan pemaaf adalah amal baik.”
            “Terus, dengan menjadi orang buta, ada tidak peluang orang tersebut untuk lebih menjadikannya penghuni surga?”
            Malik tampak berpikir keras. Dia nampak memutar otaknya untuk mencari jawaban dari pertanyaan ayahnya. Ayahnya pun menunggu dengan sabar dan tenang sambil meneruskan membaca koran. Sesekali dilirik anaknya, jari-jari tangannya masih memukul-mukul ringan meja di samping ayahnya. Tampak kosong, belum ada tanda-tanda dia berhasil mendapatkan jawaban.
            Sang ayah segara meletakkan kembali korannya. Malik cengar-cengir berkata bahwa dia menyerah. Lalu ayahnya bercerita tentang seorang anak yang diajak ayahnya jalan-jalan, dan selama dalam perjalanan mereka melihat seorang perempuan bertangan satu. Tangan sebelahnya lagi sudah tidak ada alias buntung. Sang ayah bertanya tentang siapakah yang lebih beruntung antara perempuan tersebut dengan diri anaknya. Sang anak menjawab bahwa dia sendiri yang lebih beruntung karena dengan punya tangan lengkap dia bisa melakukan banyak hal dengan sempurna dan lebih cepat. Sedangkan perempuan yang dilihatnya tidak demikian. Sang ayah mengiyakan, lalu beliau bertanya tentang peluang perempuan tersebut untuk berbuat maksiat dengan tangannya. Sang anak menjawab bahwa perempuan tersebut akan merasa senang karena minimal satu tangannya tidak akan pernah berbuat maksiat. Otomatis satu tangannya yang tidak ada tidak ada dimintai pertanggungjawaban. Sang ayah menegaskan tentang siapa yang sebenarnya lebih beruntung.
            “Oh, aku tahu ayah. Berarti orang yang buta tadi bisa menjadi penghuni surga lagi karena matanya diselamatkan dari melihat yang tidak diperbolehkan ayah. Betul, bukan?”
            “Luar biasa anak ayah,”sanjung ayah Malik sambil mengelus rambut anaknya yang mulai kemerah-merahan.
           
            Wahai para orang tua, apa yang didiskusikan Malik dan ayahnya sungguh suatu hal yang membawa kebaikan. Mengapa? Secara tak langsung, meski ayah Malik menanyakan tentang faktor sebuah bilangan, namun beliau cerdas sekali mengajak anaknya mengambil hikmah dari makna faktor tersebut. Bahwa segala sesuatu terjadi karena ada faktor penyebabnya. Dan semuanya kembali kepada kehendak Allah.

            Anak jadi memahami ada peran Allah dibalik semua peristiwa. Dan setiap kejadian yang menimpa manusia tidak akan melebihi kemampuan manusia itu sendiri, bahwa ada pelajaran berharga yang bisa dipetik jika manusia mampu memaknai. Pun, dari dialog di atas, dari bab faktor sebuah bilangan, anak akan mengerti bahwa sesuatu bisa menyebabkan sesuatu. Ada hukum sebab akibat disana. Lebih jauh, ayah Malik begitu pintar mengajak anaknya berpikir tentang demikianlah sifat Allah. Allah Maha Memberi Pembalasan. Setiap amal kebaikan diganjar dengan kebaikan, demikian pula sebaliknya. Anak tak hanya pintar menjawab bahwa 1 x 8 akan menyebabkan hasil 8, namun anak punya pikiran yang mendalam bahwa amal baik bisa membawa manusia ke dalam surga. Sehingga manusia tidak dinilai dari bentuk fisiknya, namun lebih kepada amal yang dilakukannya.

Senin, 02 Februari 2015

Karakter Positif Anakku Mulai Tampak Wujudnya

Dimuat di Nakita Januari 2015

Membangun karakter positif pada anak dibutuhkan pembiasaan (Indari Mastuti)

            Jangan dikira kalau anak usia balita tidak mengerti tentang “mimpi”. Memang, ketika orang tua bertanya,”Nak, apakah mimpi yang ingin kau capai?” anak belum tentu mengerti apa maksudnya. Dengan penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan kemampuan anak, istilah “mimpi” akan mudah dipahaminya.
            Anak usia 2 tahun biasanya memiliki kemampuan berbicara dan perbendaharaan kata yang cukup banyak. Berbicara 2 kata atau lebih sekaligus juga sudah dikuasainya. Bahkan, kecenderungan anak usia ini senang dan selalu bertanya “apa” tentang kata baru yang didengarnya. Dengan kemampuan berbicara dan menangkap bahasa ini pun, anak dengan mudah memahami 1-2 perintah sekaligus untuk bisa dilakukannya.
            Sudah menjadi hal yang wajar bahwa orang tua ingin anaknya nanti tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter positif. Membangunnya ini tidak serta merta langsung jadi. Ada proses yang harus dilakukan orang tua dan anak sendiri dengan penuh kesabaran, Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, minimal ada 3 hal yang harus dicermati dan dilakukan sungguh-sungguh untuk membentuk karakter positif anak ini, yaitu konsisten, berkelanjutan, dan konsekuen. Proses ini membutuhkan waktu. Karakter positif tidak tumbuh alami dalam diri anak.
            Awalnya, saya bingung bagaimana bisa mengontrol proses pembiasaan ini. Apakah seperti saya yang tiap bulan selalu mengeprint target jadwal sebulan lalu diisikan? Ah, rasanya akan tidak menghemat kertas. Belum lagi kalau lupa mengeprint karena printer rusak/tintanya habis. Dicatat di buku? Anak tak bisa melihat langsung dengan mudah setiap saat. Untunglah, akhirnya saya menemukan papan target ajaib bernama metrik. Saya tuliskan target hariannya di kolom yang disediakan dan saya catat hasilnya setiap hari. Jika terpenuhi targetnya, maka tak ada utang. Jika tidak terpenuhi, maka target esok harinya ditambah. Namun jika berlebih targetnya, keesokan harinya tetap dengan target yang sama.
            Sulung saya. Qowiyy (5 tahun) yang pertama kali menggunakan metrik di keluarga saya. Qowiyy anak yang enggan berbicara dengan orang lain jika belum kenal sebelumnya. Dia cenderung diam dan mengamati. Ketika ditanya orang juga cenderung enggan menjawab. Saya mencoba menantang dia agar dalam sehari berani berbicara dengan orang lain di setiap kesempatan. Awalnya susah. Qowiyy belum keluar dari zona nyamannya. Bahkan sering tak tercapai target harian itu. Namun, lambat laun, dengan terus saya dampingi setiap kali mau berbicara dengan orang lain, Qowiyy tampak kepercayaan dirinya meski belum seignifikan. Paling tidak jika ketemu kakek neneknya dan saudara lain yang jauh di luar kota, Qowiyy sudah menunjukkan rasa percaya diri yang berarti.
            Orang tua Nasywah (2 tahun 4 bulan) sejak bulan November 2014 kemarin memberlakukan target harian “merapikan mainan setelah selesai bermain” kepada anaknya. Pasalnya, Nasywah cukup sulit diminta untuk merapikan mainan jika sudah usai bermain. Ada saja alasannya, entah lapar, capek, ngantuk, dsb. Bahkan diajak merapikan bersama-sama pun Nasywah malah tidak ikut membantu. Untuk memulai membentuk karakter ini, ada pembicaraan awal antara ibunda Nasywah dengan anaknya.
            “Kau tahu, Nak, apa itu tanggung jawab?”
            Nasywah tentu saja menggeleng tidak tahu, bahkan dia lanjut bertanya apa itu tanggung jawab. Ibundanya pun memberikan keteladanan langsung tentang tanggung jawab ini dengan mengajak Nasywah merapikan mainan. Ogah-ogahan? Ya.
            “Nasywah, gimana sih senyum itu? Nasywah suka ayah dan bunda tersenyum?” Nasywah  mempraktikkannya dan menjawab,”Iya, aku tak mau lihat ayah bunda sedih.”. Dari jawaban ini, tampak bahwa Nasywah bermimpi, berkeinginan melihat orang tuanya tersenyum untuknya. Lalu, ibundanya berkata bahwa senyum itu akan didapatkannya jika dalam sehari berhasil merapikan mainannya sebanyak 2 kali. Dilengkapi dengan stiker bergambar emoticon “senyum” ibundanya berharap kesenangan Nasywah merapikan mainan bisa terwujud. Setiap hari, stiker ini ditempel di papan target harian Nasywah yang dipasang di kamarnya. Kegiatan menempel stiker ini pun menyenangkan baginya selain mengasah motorik halus anak.
            Bulan November berlalu. Ibundanya mendapati Nasywah cukup kooperatif. Sempat bolong 3 hari Nasywah tidak mau bertanggung jawab merapikan mainannya, namun selebihnya ada hal yang mengesankan terlontar dari Nasywah. “Biar Nasywah aja yang merapikan. Kamu jangan merapikan!” Bermula dari mainan favoritnya, kini di bulan Desember, Nasywah mau merapikan mainan apa saja.
            Ashalina, anak dengan usia yang tidak terpaut jauh dari Nasywah, tapi lebih tua, demikian halnya. Anak yang dititip di sebuah daycare ini berasal dari keluarga yang mapan. Namun, bagaimanapun dititip bukan berarti anak dimanja, bukan? Karakter tanggung jawab untuk hal sesederhana sekalipun tetap harus dilatihkan. Karena anak-anak di daycare cukup banyak tentunya Asha memiliki kecenderungan ingin bermain dengan teman-temannya. Makan pun akan sulit duduk tenang. Apalagi jika makan sudah selesai, inginnya kabur saja segera bergabung dengan temannya. Lupa dengan piring yang dipakainya makan. Apalagi ada pengasuh daycare dan pegawai kebersihan daycare. Anak bisa memanfaatkan mereka untuk mengangkat piring dan meletakkannya di tempat cucian piring.
            Pengasuh Asha tidak ingin hal itu terus terjadi. Dengan target harian bahwa sehari 2 kali Asha mau membawa dan menaruh piring bekas makannya di tempat semestinya, pengasuh berharap Asha lebih bertanggung jawab. Hasilnya, sesekali saja Asha lalai. Sampai bulan Desember ini didapati Asha sudah makin terbiasa melakukannya. Jika lupa dan buru-buru ingin main, pengasuhnya hanya berkata,”Ini piring makan siapa ya?” Tak lupa sang pengasuh memberikan penguatan selesai Asha melakukannya.

            Inilah konsisten itu. Inilah berkelanjutan itu. Tak cukup sekali saja atau sehari saja. Harus terus menerus, berkelanjutan setiap hari. Rutinitas akan membiasakan karakter positif pada diri anak. Orang tua harus telaten dan konsekuen dengan apa yang dilakukan bersama anaknya. Ketika anak berbuat sesuai harapan, ada penguatan yang diberikan orang tua untuk anaknya. Jika ternyata belum berhasil mengajak anak mencapai targetnya, orang tua dituntut kreatif berbahasa dan mempersuasif anak. Memasang papan target harian sebagai salah satu caranya.

Topi Merah Kesayangan


Alhamdulillah dimuat!
Ini tulisan aslinya ya. Yang ada di majalah Ummi-Permata edisi Februari 2015 sudah direvisi sama sananya. Beberapa saja. Tapi tak mengurangi isinya.
Selamat membaca!



            Semua geleng-geleng kepala melihat tingkah Dindo. Ke sekolah pakai topi. Bermain di lapangan dekat rumah juga pakai topi. Ke toko buku juga memakai topi. Bahkan pergi ke masjid pun memakai topi. Warnanya yang merah meski sudah agak luntur sedikit tak menyurutkan rasa sayangnya kepada topi itu.
            “Nak, bunda cucikan ya topi merah kesayanganmu itu?” Bu Riska menawarkan diri. Ibu Dindo ini merasa risih karena topi idola Dindo itu tak pernah dicuci sejak membelinya 1 bulan yang lalu.
            “Nggak usah, Bunda! Kalau mau dicuci, ntar biar Dindo yang lakuin sendiri.”
            Dindo meskipun baru kelas 5 SD memang sudah bisa mencuci, terutama kaos dan celana dalamnya. Kalau mencuci topi, pasti bisa. Namun, sudah berkali-kali bundanya mengingatkan, rupanya Dindo merasa sayang kalau topinya dicuci. Takut jika ada yang rusak nantinya. Saking khawatirnya diambil bundanya masuk bak cucian, Dindo pun memakainya sepanjang hari. Ketika mandi pun dibawanya serta ke kamar mandi.
            “Dindo,emang nggak bau topimu itu?” Bu Riska bertanya lagi.
            Dindo nyengir. Dengan centil dan sok percaya diri dia menjawab kalau topinya baik-baik saja. Daripada ngobrol sama bundanya panjang lebar yang ujung-ujungnya topi mau dicuci, Dindo segera pamit main di lapangan. Sudah banyak teman menunggunya di sana bermain sepak bola.
            Sore itu adalah kesempatan pertama Dindo bermain sepak bola lagi sejak memiliki topi merah itu. Musim hujan membuatnya tak bisa bermain sepak bola di sore hari. Hari itu cuaca tampak cerah. Begitu girang hati Dindo dan teman-temannya karena bisa bermain sepak bola lagi. Seperti biasa, Dindo memakai topi merah kesayangannya.
            Sudah berkumpul semua teman-temannya. Dibagi dua kelompok agar bisa bertanding bermain sepak bola. Dindo siap bermain memenangkan pertandingan sepak bola sore itu. Ada Firzi di regunya. Teman yang sangat cerewet tapi banyak disenangi anak-anak. Idenya suka di luar pikiran anak pada umumnya. Namun benar dan sangat berguna.
            Pertandingan sepak bola pun dimulai. Bunyi peluit wasit sudah terdengar kencang. Para pemain siap menjebol gawang lawan. Tak terkecuali Dindo. Kakinya semangat menendang bola. Diarahkan ke temannya. Tak jarang dia pun menerima umpan dari temannya. Semua berjalan lancar. Meski demikian gol belum juga tercipta.
            “Dindo, sundul bola ini!” teriak Firzi.
            Dindo segera sigap menyundul. Namun, sundulannya tak sempurna. Meleset. Bahkan berhasil diambil alih lawan penguasaan bolanya. Firzi sedikit kecewa. Masalahnya bukan sekali saja Dindo gagal menyundul bola dengan benar. Berkali-kali. Sampai babak pertama berhasil, regunya Dindo tak berhasil mencetak gol. Bahkan sudah ketinggalan 0-1 dibanding lawannya.
            “Dindo, tadi kenapa dengan sundulanmu?” tanya Firzi.
            Dindo mengangkat kedua pundaknya pertanda tak tahu. Firzi tambah berpikir keras apa yang menyebabkan sundulan Dindo meleset terus. Padahal sebelumnya Dindo jago soal sundulan bola. Dindo hanya terdiam. Dia masih setia memakai topinya. Babak kedua segera dimulai lagi. Waktu istirahat sudah hampir habis. Tiba-tiba Firzi menyeletuk.
            “Wah, kayaknya kamu harus lepas topimu itu Dindo!”
            Dindo terperanjat kaget. Mana mungkin dia melepas topinya. Sore itu dia tidak membawa tas untuk menyimpan topinya. Temannya pun demikian halnya. Biasanya juga begitu. Kalau mau menang, topi kesayangannya harus terpaksa dilepas sejenak selama pertandingan babak kedua dimulai. 20 menit saja. Dindo masih ragu. Mau ditaruh mana topinya?
            “Topinya cantolin di ranting pohon itu saja. Aman kok. Nggak usah takut hilang!” sahut Firzi lagi setengah mendesak Dindo.
            Bagaimanapun sepak bola adalah kesenangan Dindo juga. Tak pernah kalah sebelumnya. Apakah sore ini harus kalah gara-gara topinya? Dindo akhirnya menuruti nasihat Firzi. Dan babak kedua pun berlangsung dengan seru. Sundulan Dindo tak meleset lagi. Bisa diterima temannya dengan baik dan akhirnya berhasil menjebol gawang lawan. Sedikit mulai gentar lawannya. Pertandingan semakin ramai dan Dindo seolah lupa dengan topinya. Regu Dindo pun akhirnya unggul dengan skor 1-2.
            “Hore! Kita menang!” teriak Firzi mendekap Dindo.
            Dindo tampak gembira juga. Namun, buru-buru dilepaskannya dekapan Dindo. Dia segera bergegas menuju pohon dimana topinya ditaruh di rantingnya. Topi itu tidak ada di tempatnya. Dindo memarahi Firzi. Sore jelang magrib itu berubah warna raut wajah Dindo. Dicarinya topi merah kesayangannya itu di sekitar lapangan. Tak ditemukannya juga. Sambil cemberut dan menggerutu karena tak menemukan topinya, Dindo berjalan kesal menuju rumah.
            “Kok kesal begitu wajahnya? Lho topinya mana?” tanya Bu Riska.
            Dindo tak menjawab. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan bajunya. Dan di sana dia temukan topinya sudah terendam air sabun, siap untuk dicuci.

            “Kak, kebersihan pangkal kesehatan, bukan? Ntar rambut Kakak bau dan penuh kuman lho!” sahut Tiara, adik Dindo ketika kakaknya keluar kamar mandi.