Jumat, 01 Agustus 2014

Ketika Harus Menyapih


Menyusui atau tidak, kasih sayang ibu tiada peri 
             
              Menyapih. Kata ini yang menjadi fokus saya ketika lebaran ini. Anak kedua saya Agustus ini usianya sudah menginjak 2 tahun. Berbekal pengalaman sebelumnya menyapih anak pertama, maka proses menyapih yang sekarang pun dilakukan sesuai dengan yang sebelumnya. Namun, apa yang terjadi? Saya lupa, bahwa anak itu beda. Pengalaman memang bisa memberi bekal, tapi tak 100% bisa dijalankan sempurna.
                Menyapih dengan bertahap. Ini yang dulu saya lakukan pada anak pertama saya. Usia 19 bulan sudah saya sounding tentang menyapih. Tidur malam pun sudah tidak menyusu lagi. Hanya 2 hari saya meladeni amukannya. Dan itu masih dalam batas yang biasa. Tidak mengganggu tetangga. Menginjak usia 20 bulan, frekuensi menyusu saya kurangi lagi. Demikian di bulan-bulan berikutnya hingga akhirnya sukses menyapih si sulung di usia 23 bulan. Selain juga sudah “kesundulan”  adiknya lagi di rahim saya.
                Anak kedua, saya perlakukan hal yang sama. Bertahap menyapihnya. Usia 20 bulan saya coba kurangi malam tidak menyusu lagi. Empat hari baru bisa terkondisikan. Hari kelima, ternyata saya sakit dan tak mungkin bisa melanjutkan proses menyapih. Akhirnya si kecil saya susui kembali. Bagaimanapun, menyapih itu melelahkan dan butuh energi besar. Apalagi kasus anak kedua saya ini. Ketika saya coba sapih di usia ini ngamuknya luar biasa. Di malam pertama nangis sampai 1,5 jam. Berhasil minum dari gelas dan tidur dalam gendongan. Ketika diletakkan di kasur, satu jam sekali sudah bangun. Pegal? Iya. Tapi itulah proses yang harus dinikmati.
                Proses menyapih bertahap pertama sudah gagal. Saya akhirnya menyusui si kecil lagi sampai saya pindah rumah. Di rumah baru, saya coba menyapih lagi ketika kondisi sudah fit. Namun, ketika itu saya lupa kalau ada bapak saya menginap beberapa hari di rumah dan status saya adalah tetangga baru. Saya mencoba di suatu malam mengurangi frekuensi menyusu si kecil. Wow! Ngamuknya lebih dahsyat ketika usianya 20 bulan dulu. Sampai-sampai saya dimarahi bapak saya. Dari kejadian ini akhirnya saya dan suami sepakat,”Ya udah ntar sajalah!”
                Hingga lebaran tahun ini akan datang. Saya dan suami sepakat memanfaatkan momen tetangga yang mudik ke kampung untuk menyapih si kecil. Maklum, si kecil ini tenaganya luar biasa. Kalau nangis teriak-teriak sampai sekomplek bisa dengar. Bagaimanapun saya harus tetap menjaga adab bertetangga. Sebisa mungkin tidak mengganggu mereka meski saya sudah ijin ke mereka kalau saya mau menyapih. Alhasil dua hari sebelum lebaran saya mulai proses mendebarkan ini. Harap-harap cemas akankah berhasil. Tapi saya optimis, kali ini pasti berhasil. Momen suami libur lebaran juga menjadi pemantik semangat bahwa menyapih akan lebih mudah dijalani.
                Hari pertama dan kedua saya mengurangi frekuensi menyusui di pagi sampai sore hari. Saya tidak mengurangi frekuensinya di malam hari karena malam untuk memaksimalkan I’tikaf. Lagi pula siang pagi sampai sore bukanlah waktu istirahat, sehingga saya tak khawatir akan sangat menganggu tetatngga. Dan sudah saya duga kejadiannya lebih heboh lagi. Si kecil nendang-nendang, “mancal-mancal” sambil nangis dan berteriak. Saya dekap, gendong, elus-elus lembut masih saja mengamuk. Kadang, sampai tak kuatnya tangan saya menggendong, saya letakkan si kecil di kasur dan saya tak melihatnya sebentar sampai kemudian saya angkat lagi tubuhnya. Saya tawari susu, air putih, cemilan, dsb masih saja menolak. Sampai 1 jam akhirnya mau. Alhamdulillah bisa tidur cukup lama. Hari kedua merengek dan merontanya sudah 20 menitan. Namun, biasanya tidur 2 kali, jadinya tidur sekali.
                Melihat efek menyapih di pagi hari sampai sore hingga si kecil doyan makan dan minum, maka di hari ketiga, pas lebaran, saya dan suami memutuskan menyapih total. Malam pertama si kecil disapih, tak jauh beda ketika hari pertama siang disapih. Ditawari susu ditampik, dikasih air putih malah ditaruh di atas kulkas. Tidur pun harus dengan menggendong. Menghentikan tangisnya harus dengan menunjukkan sesuatu yang baru. Susu UHT tak lagi langsung disedot dari kotaknya, tapi ditumpah di gelas. Ditunjukkan suasana malam yang sepi di luar juga saya lakukan. Sampai suara kucing di atap pun saya pakai untuk menenangkan. Bahkan, ada katak berloncatan di rumah serta serangga bergelantungan juga saya gunakan untuk menarik perhatiannya agar bisa tenang. Ampuh cara ini. Terjaga dari tidur malam hanya dua kali.
                Hari kedua, karena seharian berkelana ke Ragunan, ternyata si kecil malamnya rewel sekali. Ngamuknya sudah berkurang, namun dua jam sekali terbangun. Tak mau ditaruh kasur lagi. Minta tidur di gendongan. Alhasil, semalaman saya begadang. Tidur sebentar-sebentar sambil duduk di kasur, bersandar di bantal. Pagi hari, lelahnya tiada kira. Untung ada suami yang mau memijat sampai otot-otot tubuh saya kembali lentur.
                Hari ketiga, keempat, sampai hari ketujuh, alhamdulillah si kecil jauh lebih terkondisi. Bangun tidur pagi berhasil dialihkan dengan memberinya air putih/susu dan cemilan. Malam pun sudah bisa tidur dengan tenang. Terjaga hanya sekali atau dua kali dan bisa tidur kembali dengan cepat. Tak mau digendong lagi. Masih teringat sih si kecil dengan kata “mimik”, maksudnya mau nyusu, namun tak lagi mengamuk. Malah si kecil berkata,”Nasywah dah besar ya, nggak mimik lagi!”
                Alhamdulillah. Apa peran suami saya? He, minimal pas si kecil terjaga dan meminta perhatian saya, suami saya juga ikut terbangun. Sesekali menggendong dan menenangkan si kecil, meski si kecil menolak karena maunya sama saya. Suami lah yang mengambilkan minum dan cemilan untuk mengganti ASI. Dan suami lah yang menjaga si sulung saya agar tak terjaga tidurnya karena adiknya yang mengamuk dengan begitu kuatnya.

                Menyapih dengan cinta? Beginilah rasanya. Berjuta perasaan berkecamuk di dada. Rasa iba, rasa bersalah, cinta, sedih, semuanya. Namun harus dijalani dengan penuh kesabaran dan kelembutan. Tanpa tipu-tipu, ya!

2 komentar:

  1. Wahhh henny pengalamanmu koq sama persis spt ku anakq jg ngamuk luar biasa...tp alhamdulillah skrg sdh berhasil hampir 1 bln.klo anakq tak alihkan dgn bercerita ttg binatang yg dia sukai.soale anakq klo bobok jg g mau ngedot itu yg susah klo anak full ASI...

    BalasHapus