Rabu, 25 Juni 2014

Bukan Lagi Anjungan Tunai Mandiri

              
sumber : foto pribadi

sumber : foto pribadi
              Beberapa kali mampir ke ATM di SPBU Jalan Kartini Depok selalu saja saya dapati pemandangan kotor di dalam ruang kecil itu. Sampah berserakan dan tidak dibuang pada tempatnya. Memang, di dalam ruang tempat ATM berada tidak ada tempat sampah. Kecuali tempat kecil di mesin ATM sendiri yang memang berfungsi untuk tempat sampah. Namun, masih di kitaran SPBU, disediakan tempat sampah. Apa susahnya membawa selembar kertas kecil lalu membuangnya ke tempat sampah. Terutama jika tempat kecil di mesin ATM tadi sudah penuh sampah.

                ATM bukan lagi Anjungan Tunai Mandiri. ATM berubah jadi tempat sampah. Selain kertas bukti transaksi yang sudah dianggap tidak penting dibuang di sana, juga ditemukan sampah lainnya. Bungkus permen dan makanan ringan juga turut memperparah keadaan. Brosur-brosur kecil atau tisu yang sudah kotor. Susahkah mengantongi sebentar dalam plastik dan menyimpannya dalam tas sampai bertemu tempat sampah?

                Sungguh kasihan petugas kebersihan di SPBU itu. Tiap hari harus menyapu sampah yang ada di ATM. Kesadaran pengguna ATM tentang sampah masih lemah. Padahal jika diteliti, mereka orang-orang yang ke ATM bukanlah orang yang bodoh. Bukan orang yang tak tahu apa-apa. Namun, fakta berkata sebaliknya. Bahkan, dimana harus buang sampah pun tidak tahu.

                Apa yang salah? Siapa yang salah? Masalah sampah tidak hanya terjadi di ruang kecil ATM. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya masih menjadi kebiasaan segelintir orang. Budaya membaca juga jarang dijadikan sarana untuk berbuat semestinya. Sudah jelas terpampang tulisan “Buanglah sampah pada tempatnya!” namun masih saja melempar sampah di sembarang tempat.

                Apakah keteladanan harus tetap dituntut ada untuk hal seperti ini? Akankah sangsi hukum juga harus ditegakkan lagi setegas-tegasnya bagi pembuang sampah sembarangan? Atau kesadaran pribadi masing-masing individu yang harus dilecutkan kembali? Membuang sampah sembarangan adalah masalah klasik yang memang harus segera diatasi.

Senin, 23 Juni 2014

Guru pun Harus Membaca

sumber:google

Musim ujian memang telah usai. Sekarang anak-anak lagi semangat mengisi hari libur mereka. Namun, ada juga yang masih sibuk mencari sekolah jenjang baru yang pas untuk menimba ilmu. Sang guru pun sibuk menyiapkan tahun ajaran baru. Ada yang menyiapkan RPP, program semester, silabus, dsb. Ada pula yang giat mengikuti seminar/pelatihan pendidikan. Namun, sering kali satu hal ini justru terlewatkan.

Sebuah percakapan sederhana terdengar di telinga saya beberapa waktu yang lalu. Dua orang guru sedang mengobrol. Guru yang lebih tua mengeluhkan siswanya banyak salah menjawab ketika ujian bahasa Indonesia. Khususnya pada pertanyaan bahan bacaan. Anak-anak malas membaca. Buru-buru dan cenderung tak mengerti maksudnya. Meski sudah diingatkan kembali, anak membaca sekedar membaca, tanpa sungguh-sungguh memaknai isinya. Dan keseharian mereka memang jauh dari membaca. Guru yang lebih muda mempunyai kisah yang sama.

“Anak-anak sekarang malas kalau disuruh baca.”

Jawaban salah seorang guru itu lebih membuat saya terkejut. Bagaimana dengan gurunya? Suka baca kah? Tidak juga. Padahal, semestinya kebiasaan ini sudah menjadi makanan guru setiap harinya. Gurunya saja tidak doyan membaca, bagaimana dengan anak didiknya? Kontradiksi sekali bila guru menuntut mereka bisa dengan mudah memahami bacaan yang cukup panjang di soal. Kebiasaan gemar membacanya saja tidak dibangun.

Tak semua guru demikian. Di Surabaya, ada sekolah yang mewajibkan guru-gurunya untuk membaca sepekan sekali. Buku yang dibaca bisa meminjam di perpustakaan sekolah. Setelah membacanya, setiap guru diwajibkan untuk membuat rangkuman isinya. Kebiasaan ini juga dilakukan anak didik di sekolah itu. Setiap beberapa hari sekali merekadiwajibkan pinjam buku di perpustakaan. Jam istirahat ramai dengan siswa yang memilih buku di sana. Ada yang dibaca langsung, ada juga yang membawanya pulang untuk dibaca.

Ternyata, budaya membaca memang menjadi salah satu jaminan mutu sekolah itu untuk setiap lulusannya. Tak heran, setiap waktu buku di perpustakaan senantiasa ada yang baru. Lengkap koleksinya. Wajar, jika guru dan siswa senang meminjam buku dari sana. Bahkan, karena budaya ini, guru dan siswa di sana sering sekali menjadi juara lomba yang melibatkan kemampuan menulis.

Membaca membuat paham. Menuliskannya lagi akan melekatkan pengetahuan. Namun, faktanya, tidak semua kondisi sekolah bisa seperti itu. Termasuk sekolah dua guru yang tengah bercakap-cakap tadi. Sekolah dimana guru yang lebih tua mengajar ada di kota. Sayang, koleksi buku di perpustakaannya sedikit dan sudah using. Jarang dibuka hingga lusuh dan berwarna coklat. Sekolah guru satunya memang tak punya perpustakaan. Tempatnya terpencil di perkampungan. Benarkah guru harus bergantung dari buku di perpustakaan sekolah untuk bisa membaca?

Membaca sangat tergantung kepada niat dan minatnya untuk membaca. Banyak orang tak punya koleksi buku di rumah bisa banyak membaca entah bagaimana caranya. Begitu sebaliknya. Banyak yang punya judul buku, tapi hanya menghias rak di rumah. Guru mestinya punya semangat tinggi untuk membaca. Kekuatan niat untuk melakukannya harus ada, apalagi posisi guru menjadi teladan bagi siswanya.


Guru membaca? Pasti bisa!