Minggu, 21 Juli 2013

Prompt #21-Cinta Matiku


Sudah sebulan lebih dia tak ada di sisiku. Padahal aku baru saja menemukannya dan belum sempat mengenalnya lebih dekat. Apalagi untuk bisa mendapatkannya aku harus berjuang mati-matian. Banyak saingan.
Maih kuingat lekat dalam memori otakku. Dia memakai baju warna hijau bergambar kupu-kupu. Namun, perpaduan warnanya dengan putih semakin mempercantik warna hijaunya. Berseri dan menggiurkan mata untuk selalu melihatnya. Mungil dan ingin menyentuhnya kulit halusnya.
“Jangan sampai terulang kayak aku, Sas!” tegur temanku ketika mendengar bahwa aku sedang merindukan dia yang sudah sebulan lebih belum lagi bersua.
“Emang kenapa?”
“Aku sudah pernah dibohongi. Uangku diembat sama dia, tak dikembalikannya. Aku tagih juga tak dikembalikannya. Padahal banyak. Kapok aku!”
“Masak sih?”
Temanku yang seangkatan kuliah meski beda jurusan ini mengangguk tanda ingin meyakinkanku. Di lantai dua kami masih melanjutkan diskusi tentangnya. Aku semakin khawatir. Jangan-jangan dia akan berbuat yang sama terhadapku. Wah, ini tak boleh terjadi.
***
Siang itu aku juga tak menemukannya. Di kamar seukuran 2 x 4 meter itu aku juga kehilangan jejaknya. Tentu setelah aku bertanya kepada penghuni lain di kamar itu. “Oh, kemana dia? Aku tak mau kehilangannya. Susah payah aku mendapatkannya,” batinku berkata. Namun, kata-kata temanku masih saja terngiang, menari-nari di kepala seolah enggan pergi.
SMS yang aku layangkan juga tak memberi info dimana keberadaannya sekarang. Dia seolah menghilang, lenyap ditelan bumi. Tak ada kabar. Aku semakin rindu. Membuncah dan melayang. Tak sanggup rasanya jika harus kehilangannya. Mencari yang sama seperti dia belum tentu ada lagi. Dia yang pertama mengisi hati ini. Meliriknya ketika itu sudah membuatku jatuh hati sampai aku harus berkata,”Ya, aku harus memilikinya.”
Tak kenal menyerah, aku pun menuliskan sepucuk surat tentang kerinduanku kepadanya. Lama sudah jemari ini tidak memegang pena untuk menulis, akhirnya menorehkan kata-kata yang coretannya tak cukup bagus, namun masih bisa dibaca. Ah, yang penting isinya. Aku ingin melalui surat itu kerinduanku terungkap. Kangennya bisa diketahui dengan jelas, dan dia akan kembali kepadaku.
Lel, maaf ya, bukuku masih ada di kamu kan? Aku sekarang lagi pingin membacanya nih. Aku harap kamu nggak menghilangkannya, soalnya buku itu aku beli dengan hasil jerih payahku sendiri. Tahu sendiri kan, ketika itu aku bisa membelinya, namun belum tentu sekarang aku bisa membelinya lagi karena bisa jadi sudah nggak terbit lagi. Meski itu hanya 20 ribu harganya, tapi aku suka buka itu. Karena buku itu aku nggak jajan seminggu ini karena uangnya aku kumpulin untuk beli buku itu. Maaf ya, moga kamu nggak marah ya?
Salam hangat,
Sasti
Syukurlah, suratku sampai ke tangannya dan buku mungil dengan cover tebal warna hijau putih itu kembali bisa aku baca. 


*421 kata 

Rabu, 03 Juli 2013

Matematika Itu Indah (Bagian 2)-Ada Allah dalam Bilangan Prima


Siang itu sang guru matematika sedang mengajarkan bilangan prima. Agar anak-anak kelas IV tertarik maka sang guru mengajak siswanya berdiri dan berhitung mulai dari 2. Ternyata ada 33 siswa yang hadir.
“Yang merupakan kelipatan 2 selain 2 silakan balik kanan. Kalau sudah balik kanan tidak boleh balik kanan lagi,” instruksi bu guru.
“Yang merupakan kelipatan 3 selain 3 silakan balik kanan. Kalau sudah balik kanan tidak boleh balik kanan lagi.”
“Yang merupakan kelipatan 5 selain 5 silakan balik kanan. Kalau sudah balik kanan tidak boleh balik kanan lagi.”

Dan ternyata bilangan 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, dan 31 yang disebut anak-anak yang tidak balik kanan. Sang guru pun menuliskannya di papan tulis urut ke bawah, lalu menanyakan faktor bilangan tersebut. Ternyata ke-11 bilangan tersebut hanya mempunyai tepat 2 faktor saja yaitu 1 dan bilangan itu sendiri.
“Ada yang tahu ini namanya bilangan apa?” sang guru bertanya. Semua siswa tak ada yang bisa menjawab. Akhirnya sang guru memberitahu bahwa bilangan tersebut namanya bilangan prima.
“Ada gunanya bilangan prima?” tanya seorang siswa.
“Banyak, bisa dipakai untuk mendeteksi keaslian tanda tangan digital. Bisa juga untuk memahami bahasa alien di luar angkasa sana. Dan yang lebih penting lagi Nak, coba perhatian faktornya. Hanya ada 2 yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. 2 tidak akan bisa jadi 2 jika tidak dikalikan 1. Demikian juga 3, 5, dst. Sama seperti manusia. Kamu semua, Anton, Faisal, Ninik, dan lainnya tidak akan pernah ada jika tidak ada bilangan 1 ini. Siapakah 1 ini?”
“Allah ya?”
“Yup, benar sekali. Luar biasa. Allah lah yang menciptakan kita semua. Bersyukurlah kepadanya!” sang guru menegaskan.

Semua siswa mengangguk dan tertegun paham. Ternyata, ada Allah dalam bilangan prima yang baru saja mereka pelajari.

Senin, 01 Juli 2013

Bidan Ramah, Ibu Hamil Betah (Tulisanku Masuk Jawa Pos, Gagasan, 24 Juni 2013)


“Ayo sini timbang badan terus rebahan. Duh, sayang posisi kamu sudah bagus banget nih, Ngejan sebentar brojol. Bantu bunda kontraksi ya. Yuk kita pijat sebentar biar tenang,” seorang bidan cantik, ramah mengajak ngobrol janin saya. Saya yang mendengarnya saja terharu. Bahkan sampai menitikkan air mata. Apalagi ketika pijat endorphin, kata-kata positif dari Bu bidan malah menderaskan air mata. Tak cukup sekali, bulan depannya, ketika usia kehamilan sudah hampir 38 minggu saya pun periksa ke bu bidan tersebut. Meski ada kabar buruk tentang kehamilanku, tapi apa yang dilakukan bu bidan bisa menenangkanku kembali. Resep-resep yang dituturkannya tanpa menunggu lama saya lakukan.
Bu bidan ini juga sangat menjaga komunikasi dengan pasien yang datang ke rumahnya. “Ini mbak saya kasih kartu nama saya. Jika ada apa-apa, mau tanya apa saja boleh SMS saya.” Ternyata, menjelang detik-detik HPL (Hari Prediksi Lahir), Bu Bidan dengan senang hati melayani SMS saya, bahkan mencarikan referensi dokter yang enak untuk dimintai pendapat dan tempat melahirkan yang nyaman. Bayangkan saja, meski saya tidak ada rencana melahirkan di bu bidan tersebut, namun perempuan mulia itu tak sakit hati. Bahkan kerjasama yang baik ditunjukkan ketika saya mengalami kegelisahan dikarenakan hasil USG di dua tempat berbeda. Menghibur dan menenangkan hati saya. Lewat SMS. Pernah juga saya konsultasi ke rumah beliau dan saya tidak dipungut biaya sama sekali.

Sungguh, Bu Bidan yang luar biasa. Ramah hingga ibu hamil betah, sebagai refleksi memperingati Hari Bidan Indonesia, 24 Juni.

(aslinya begini, yang di koran sudah diedit sama pihak Jawa Posnya)

Matematika Itu Indah (Bagian 1)-Mengenal Allah Melalui Bangun Datar


“Anak-anak, coba dari 4 korek api ini buat bangun persegi. Bisa?” tanya bu guru.
“Bisa Bu! Gampang banget.”
“Subhanallah. Sekarang ada 3 korek api, bisakah dibuat bangun segitiga?”
“Bisa Bu! Ini dia!”
“Sekarang, coba dari bangun datar yang kamu buat itu, untuk yang persegi ambil korek apinya 1 dan yang segitiga juga ambil 1 korek apinya.”
“Sudah Bu.”
“Apa yang terjadi?” tanya bu guru.
“Ya nggak jadi persegi, ya nggak jadi segitiga lagi.”
“Berarti bagaimana kesimpulannya?”
Seorang siswa menjawab bahwa untuk membentuk persegi dan segitiga korek api yang diambil harus dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Tak ada itu, korek api yang masih tersisa tak bisa disebut bangun persegi dan segitiga.

Bu guru mengacungkan jempolnya. Sip. Ok. Good. Luar biasa. Anak-anak akhirnya tahu bahwa keberadaan korek api (dalam hal ini korek api disebut sebagai sisi) sangat berarti bagi persegi dan segitiga. Di akhir pembelajaran bu guru mempertegas,”Begitulah Allah anak-anakku semua. Yang Maha Melengkapi semua yang ada di dunia ini. Ada anak laki-laki maka ada pula anak perempuan. Ada yang tua, maka ada pula yang muda. Ada yang kuat maka ada pula yang lemah. Ada yang miskin maka ada pula yang kaya. Nah, semuanya saling bekerja sama, saling melengkapi. Seperti halnya korek api tadi. ”

Giginya Bukan Tinggal Dua

“Giginya tinggal dua!” sang cucu selesai bernyanyi lagu burung kakak tua.
“Enak aja, kalau nyanyi jangan ngawur, Nduk!” sahut sang nenek.
“Kan emang begitu lagunya, Nek. Ibu yang ngajari gitu! Bu guru di TK juga begitu!”
“Coba sini Nduk, hitung gigi nenek sekarang, ada berapa coba!” tantang si nenek.

Sang cucu mendekat perlahan. Dia terpingkal-pingkal karena ternyata gigi neneknya malah tinggal satu saja.