Sabtu, 24 Agustus 2013

Sama Saja Kok, Oyong Itu Ya Gambas!

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Masih ingat kan makna peribahasa ini? Wah, malu sendiri jika saya mengingat peristiwa ini.
“Bu, beli gambas dong!” pinta saya kepada tukang sayur di minggu kedua kepindahan saya dari Kediri ke Depok.
“Gambas itu apa teh?” ibu tukang sayur kebingungan.
“Itu lho Bu, yang biasa disayur bening. Panjang, kulitnya warnanya hijau dan tebal. Ada bijinya.”
“Aduh yang mana ya? Teteh bukan dari Depok asli ya?”
Ketahuan deh! Padahal sudah diingatkan suami berkali-kali kalau ngobrol sama orang Depok pakai bahasa Indonesia saja. Tapi jujur, saya tidak tahu apa bahasa Indonesianya “gambas” yang ingin saya beli.
Saya tersenyum. Mata saya juga melihat satu per satu sayur yang dijual si ibu tukang sayur.
“Itu lho Bu gambas!” saya setengah berteriak menunjuk gambas.
“Oalah, itu namanya oyong. Bukan gambas.”
Saya tersenyum lagi. Setelah mendapatkan gambas saya berlalu pergi. Malu setengah mati karena saya nggak ngerti kalau di Depok gambas disebut oyong. Peristiwa itu cukup sekali terjadi. Selanjutnya, ketika saya belanja lagi, saya sudah bisa meminta kepada ibu tukang sayur,”Bu, tolong oyongnya dong!” Tak ketahuan lagi kalau saya bukan orang Depok asli. Kok bisa? Lha wong saya belanjanya di ibu tukang sayur yang lain lagi. Hiks, malu belanja lagidi ibu tukang sayur yang sebelumnya.
Dan, gara-gara ajang Give Away ini, saya jadi tahu ketika mencari tahu apa itu oyong, search di Wikipedia Indonesia, malah yang keluar judulnya adalah Gambas. He, he, he. Oalah! Masih berlakukah peribahasa tadi?

"Ini oyong Nak. Bisa juga disebut gambas."
Tulisan ini diikutkan dalam "Give Away Aku dan Pohon"

Sekilas tentang oyong:
Oyong atau gambas merupakan tanaman yang biasa dipanen buahnya ketika masih muda. Biasanya memang diolah menjadi sayur. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gambas)
Oyong atau gambas, nama ilmiahnya adalah Luffa acutangula, juga bisa digunakan sebagai antidiabetes. Jadi bagi Anda penderita diabetes, konsumsi oyong atau gambas aman bagi Anda.

Rabu, 14 Agustus 2013

SPK Pertama

“Ayah, bunda baru saja dapat SPK dari penerbit. Isinya tentang royalty yang akan bunda dapatkan jika setuju naskah buku bunda diterbitkan. Gimana nih?” sms Nuri kepada suaminya.
“Emang nominalnya berapa? Sistem royaltinya gimana?” balas Ridwan.
“2 juta rupiah. Beli putus lagi. Gimana? SPK harus segera dibalas.”
Ridwan ternyata keberatan jika naskah istrinya hanya dibayar segitu. Padahal dia tahu untuk mengerjakan naskah tersebut jalan yang ditempuh istrinya lumayan butuh tenaga. Malam-malam melembur untuk mengerjakannya.Menahan kantuk, meminta tolong tetangga untuk membantu membuatkan alat peraganya.
“Coba lobi pihak penerbitnya bisa tidak harganya dinaikkan!” balas Ridwan lagi.
Nuri pun mencobanya. Alhasil, malah dia kena semprot pihak redaksi penerbitnya. Yang katanya dia penulis amatiran, yang katanya dia belum tahu dunia kepenulisan. Ada kecewa dalam benaknya.
“Lihat nih, gara-gara ayah, bunda diolok-olok kayak begini. Padahal bunda kan nanyanya dah baik-baik.”
“Ya udah sekarang enaknya bagaimana? Coba tanya teman bunda yang sudah berkali-kali bukunya diterbitkan, mungkin ada solusi.”
Akhirnya Nuri menghubungi temannya yang penulis juga. Lewat SMS juga karena ada jarak yang memisahkan mereka. Temannya memberi saran agar SPK tersebut diterima saja.
“Sebagai langkah awal, Mbak. InsyaAllah ke depannya Mbak akan produktif. Seneng lho buku bisa terbit itu, karena nembus penerbit itu susah-susah gampang.”
“Iya sih Mbak. Dulu niat awalnya juga memang agar buku saya yang bisa terbit ini bisa bermanfaat. Bisa menginspirasi. Bukan untuk mengejar materi.”
SPK balasan sudah dilayangkan kembali oleh Nuri. Uang royalty juga sudah dia dapatkan dari penerbit. Syukur yang tak terhingga dia panjatkan kepada Allah sebesar-besarnya. Dia tak peduli berapa eksemplar bukunya sudah laku. Nuri hanya berharap bukunya bisa membawa kebaikan kepada orang lain.
“Mbak, saya Desi. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi. Alhamdulillah, saya suka sekali dengan buku yang ditulis oleh Mbak Nuri. Sangat membantu skripsi saya. Bisa tanya-tanya lagi tentang isi buku itu Mbak?”
Air mata Nuri langsung pecah. Ya Allah, sebegitunya? Bahagia tumpah ruah mengisi rongga dadanya. Tak bisa berkata-kata. Minggu sore itu benar-benar dia merasakan syukur yang memuncak tiada tara. Dia layani SMS mahasiswa itu dengan senang hati. Ya Allah, benarkah? Seakan Nuri tak percaya. Apalagi di kesempatan lain dia pun pernah mendapatkan SMS yang serupa.
“Siang Mbak. Saya penggemar buku yang ditulis oleh mbak. Adakah versi lain untuk bisa diterapkan di bidang saya?”
Oh, syukur itu kembali menyeruak. Belum lagi teman Nuri yang ada di pulau lain juga minta dikirimi buku tersebut karena di daerahnya, di toko bukunya tak ditemukan buku tersebut.
“Ayah, bunda senang kok buku bunda bisa terbit. Biar bisa menyemangati bunda.”
Ridwan tersenyum. Motivasi yang tinggi pun diberikannya kepada istri tercinta agar ketertarikannya di dunia menulis bisa terus berlanjut dan membawa berkah.
***
Ridwan sedang di luar kota. Nuri selepas mengantar anak sulungnya ke sekolah dan menitipkan adiknya ke tetangga segera meluncur ke stasiun menuju Jakarta. Ada acara yang harus dia ikuti sampai dhuhur tiba. Di tengah-tengah acara Nuri juga nampak sibuk mengontrol anaknya yang diasuh tetangga dan si sulung apakah sudah dijemput atau belum. Pikirannya tak tenang, namun Nuri tetap berkonsentrasi dengan acara yang diikutinya. Lemper, kue sus, aneka kue lainnya tak menarik baginya untuk diincipi. Nuri tak sabar menunggu pengumuman lomba nulis yang diikuti.
“Pemenang kedua dari lomba ini adalah ….,” si MC sengaja membuat jantung lebih berdebar. Dia tidak melanjutkan perkataannya, malah mengatakan bahwa hadiahnya untuk pemenang kedua adalah sebuah gadget senilai 4 juta.
“Ya Allah, alhamdulillah, aku menang juara 2,” Nuri kaget setelah akhirnya namanya disebut. Dia pun langsung mengirim SMS suaminya yang ada di luar kota. Pulang dengan membawa rasa bahagia yang tak bisa diungkapkan kata-kata.
“Aku akan terus menulis. Lagi dan lagi. Mau dapat uang atau tidak aku tak peduli. Hidup terasa lebih aku nikmati dengan menulis. Moga bermanfaat dan menjadikan pembacanya, termasuk aku yang menulisnya agar lebih baik lagi. Ya Allah, bantu hamba-Mu ini,” doa Nuri.
“Amin! Tapi jangan lupakan aku ya!” tiba-tiba Ridwan muncul di balik kamar. Nuri tersenyum renyah menatap suaminya tercinta.
“Emang kenapa?”
“Kalau sudah nulis susah dibendung.”
Tawa kecil keluar dari mulut Nuri. Ridwan juga nampak bercanda rupanya. Toh, sejak awal menikah Ridwan memang tak pernah melarang Nuri melakukan kesenangannya, asal tak sia-sia. Di dunia dan di akhirat tentunya.
“Semua gara-gara SPK pertama itu, Ayah. Bunda bersyukur banget. Dan ternyata Allah memberikan lebih setelahnya. Bunda jadi bergairah menulis lagi,” Nuri berkata ketika sedang berduaan dengan suaminya di kamar.
“Iya. Siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Tapi bunda harus menjadikan pengalaman sebagai media belajar.”
“Ok!”

Malam semakin gelap. Nuri dan Ridwan akhirnya juga terlelap. Nyamuk-nyamuk malam siap melebarkan sayap. 


Senin, 12 Agustus 2013

Kolak Blonceng? Aneh!

Semua karena kebiasaan. Orang yang terbiasa ngopi tiap pagi sambil baca koran akan terasa aneh jika suatu pagi tak melakukan itu. Bahkan ketika ternyata kopinya habis dibela-belain membelinya meski warung belum buka. Orang yang terbiasa nulis dengan cara kidal juga akan terasa janggal jika tiba-tiba dia disuruh untuk menulis dengan tangan kanan.

Ini tentang kisahku dengan si blonceng. Sejak kecil hingga aku menikah blonceng selalu saja aku santap dalam bentuk sayur.Dihidangkan bersama bayam. Ehm, segarnya. Jadi kangen nih sama blonceng. Namun, di Depok nggak ada yang jual blonceng. Mau nyari sampai ke pasar dan swalayan juga tidak saya temukan tanaman merambat ini.

Ah, bukan. Bukan ini masalahnya. Semenjak peristiwa itu saya tak ingin makan blonceng lagi. Meski ada kangen yang mendera untuk melahapnya.

“Nih, coba rasain!” suami saya menawari semangkuk minuman seperti kolak namun tanpa santan dan berisi sesuatu.
“Apa ini?” tanya saya sambil menunjuk isi mangkuk itu.
“Ini namanya kenthi.”
“Kok kayak blonceng sih?”
“Blonceng?” suami heran karena di daerahnya Lamongan blonceng biasa disebut dengan nama kenthi.
Saya pun mencobanya sedikit. Benar, itu blonceng. Manis sih, tapi karena dalam benak saya blonceng itu dibuat sayuran, saya tak ingin melanjutkan minum kolak blonceng itu. Aneh.
“Gimana? Enak kan?”
“Hi…blonceng kok dibuat minuman kolak kayak gini. Ini mah biasanya dibuat sayur sama bayam. Ayah saja ah yang nerusin habisin minuman ini!”
“Walah, kan dah dibuatin emak.”
“Ogah ah, aneh rasanya.”

Akhirnya, minuman kolak dengan isi irisan kenthi itu, eh blonceng itu dihabiskan suami saya. Sejak saat itu saya enggan makan blonceng meski dimasak sayur dengan bayam ketika pulang kampung ke Kediri. Peristiwa itu masih terngiang.

Blonceng oleh-oleh dari Lamongan

Mau disayur atau dibuat kolak ya? Ehm, dikasihkan ibu saja deh! 

Tulisan ini diikutkan dalam "Give Away Aku dan Pohon"


Sekilas tentang blonceng:
Blonceng atau lebih dikenal dengan nama Labu air memang selama ini sering diolah menjadi sayuran. Apalagi jika bloncengnya masih muda. Bentuknya ada yang seperti labu ukur di laboratorium, ada juga yang lonjong memanjang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Labu_air)

Ada yang menyamakan blonceng dengan beligo/kundur. Keduanya memang berasal dari ordo dan family yang sama, namun genus keduanya berbeda. Blonceng dikenal dengan nama ilmiah Lagenaria siceraria, sedang beligo dikenal dengan nama ilmiah Benincasa hispida. (http://id.wikipedia.org/wiki/Beligo)